AI Membuat Kita Jadi Malas Berpikir

 

AI Membuat Kita Jadi Malas Berpikir
Unsplash.com/Igor Omilaev


Hadirnya kecerdasan buatan (AI) telah banyak membantu dalam menangani berbagai tugas atau pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan oleh manusia. Namun, di sisi lain, hal ini membuat kita menjadi ketergantungan dengan AI. ChatGPT adalah salah satu kecerdasan buatan yang menarik perhatian banyak orang di seluruh dunia berkat kemampuannya. Hampir semua tugas dan pertanyaan yang kita ajukan kepadanya bisa dijawab dan diselesaikan dengan mudah.

Berkat kemampuannya yang luar biasa itu, kita menjadikan ChatGPT sebagai ‘kaki tangan’ untuk menyelesaikan berbagai tugas maupun masalah. Sebagai contoh, jika kita ingin mencari sebuah informasi, maka kita akan mencarinya melalui Google dan menelusuri setiap situs satu per satu. Namun, kini, hal itu sudah tidak berlaku lagi. Kita cukup bertanya kepada ChatGPT tentang infomasi yang ingin kita tahu dan dalam hitungan menit, kita akan mendapatkan jawabannya.

Imbasnya, ini membuat kita jadi malas berpikir dan bisa seenaknya menyerahkan semua masalah atau tugas kepada ChatGPT—seolah-olah ia adalah tuhan yang tahu segalanya. Jika kita malas berpikir, maka ini bisa menyebabkan penurunan pada fungsi kognitif kita. Dalam dunia pendidikan, kecerdasan buatan seperti ChatGPT bisa menjadi masalah besar. Saat sedang ujian misalnya, siswa akan lebih mengandalkan ChatGPT untuk menjawab soal-soal ujian—alih-alih menggunakan kemampuan mereka sendiri.

Dalam sebuah laporan berjudul “Generative AI Can Harm Learning”, para peneliti di University of Pennsylvania menemukan bahwa siswa yang mengandalkan AI untuk mengerjakan soal latihan memiliki hasil yang lebih buruk dalam ujian dibandingkan dengan siswa yang menyelesaikan tugas tanpa bantuan AI (Westfall, 2025).

Fenomena ketergantungan pada AI jika dibiarkan bisa menjadi masalah yang serius. Para ahli pendidikan berpendapat meningkatnya peran AI dalam lingkungan belajar berisiko merusak pengembangan kemampuan memecahkan masalah (Westfall, 2025).

Jawaban yang diberikan oleh AI sering kali membuat kita tidak perlu melakukan verifikasi dan validasi lebih lanjut. Padahal, jawaban yang diberikan belum tentu benar dan akurat. Ini menjadikan kita malas berpikir dan cenderung mencari jawaban instan untuk memecahkan suatu masalah. Akibatnya, jika dihadapkan pada suatu masalah kita tidak mampu mengatasinya dan kesulitan membuat keputusan yang tepat.

Karena, kita sudah terbiasa dengan sesuatu yang mudah dan instan. Ketika penggunaan dan ketergantungan pada AI meningkat, ini akan dengan cepat menurunkan kapasitas berpikir manusia. Hal ini juga akan menghilangkan kapasitas kecerdasan manusia dan membuatnya kebih artifisial. Selain itu, ketergantungan tingkat tinggi pada AI dapat menurunkan keterampilan profesional dan menimbulkan stres ketika tindakan fisik atau otak diperlukan (Humanities and Social Sciences Communications, 2023).

Masifnya penggunaan akal imitasi atau AI tanpa adanyanya pengawasan dan kontrol yang ketat bisa berdampak buruk untuk jangka panjang. Salah satunya, kita tidak lagi harus repot-repot menggunakan otak untuk menyelesaikan berbagai tantangan dan masalah. Cukup dengan mendelegasikan ‘peran otak’ kita kepada akal imitasi, maka dalam sekejap semua masalah menjafi beres.

Padahal, akal imitasi atau AI dilatih menggunakan sekumpulan data yang diinput oleh manusia dan bisa saja di dalam data itu terdapat kesalahan—sehingga menghasilkan output atau hasil yang bias. Saya jadi bertanya-tanya, mengapa akal imitasi seperti ChatGPT bisa lebih “pintar” daripada manusia? Bukankah ia hanya sebuah mesin tanpa otak?

Jika kita cermati lebih dalam, akal imitasi seperti ChatGPT hanyalah mesin tanpa otak. Apa yang dihasilkan olehnya hanyalah sekumpulan data yang telah diinput sebelumnya. Tanpa adanya data yang diinput, akal imitasi seperti ChatGPT tidak akan mampu memberi jawaban atas pertanyaan yang kita ajukan. Karena, ia tidak bisa benar-benar berpikir seperti manusia.

Berbeda dengan kita, sebagai manusia kita bisa berpikir dan bertindak atas kesadaran sendiri tanpa ada intervensi dari pihak mana pun. Otak kita juga mampu memproses dan menganalisis setiap informasi yang masuk. Lalu melakukan verifikasi dan validasi atas informasi tersebut.

Ini tentu saja tidak bisa dilakukan oleh akal imitasi seperti ChatGPT. Karena, ia tidak memiliki otak. Jika kita menyerahkan semua tugas pada akal imitasi, imbasnya kemampuan otak kita akan menurun. Kita tidak lagi mampu berpikir kritis, memecahkan suatu masalah, maupun mengambil keputusan yang tepat. Bahkan, sekadar untuk memilih film favorit pun kita tidak mampu. Sebab, semua yang mampu dilakukan oleh otak, sudah kita delegasikan kepada akal imitasi seperti ChatGPT.

Toni Al-Munawwar
Toni Al-Munawwar Toni Al-Munawwar adalah seorang blogger dan penulis buku. Ia mulai menekuni dunia menulis dari blog pribadinya. Beberapa tulisannya pernah dimuat media cetak dan elektronik.

Posting Komentar untuk "AI Membuat Kita Jadi Malas Berpikir"